![]() |
Photo from Unsplash |
Bismillah..
Ada lagi, salah satu episode Tadzkiratussaami Wal Mutakallim yang memberi kesan berbeda, tepatnya Sabtu, 20 Juli kemarin.
Kajian tersebut membahas tentang hasad (apa hakikat dan inti dari hasad, dan betapa tersiksanya hidup orang yang hasad).
Pada sesi tanya jawab, kamera diarahkan ke salah satu jamaah, yaitu seorang teman tuli. Dengan menggunakan bahasa isyarat, beliau menyampaikan kegalauannya, yang langsung dialihbahasakan oleh seorang penerjemah di sana.
Untuk beberapa menit, saya takjub dengan pertanyaan tersebut..
Pertama, para teman tuli ketika mereka berkomunikasi, ekspresi dan gerakan tangan mereka seakan mewakilkan ketulusan dan kesungguhan dari apa yang diucapkan. Meski tentu saja, kita tidak bisa membaca isi hati mereka. Allah lebih mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi. Namun kita dapat belajar tentang ketulusan dan kesungguhan itu dari mereka, terutama saat mendengarkan maupun berbicara dengan orang lain.
Kedua, isi dari pertanyaan itu sendiri. Betapa teman tuli iri pada para teman dengar yang bisa "mendengar kajian dalam kondisi apapun", sambil tiduran, sambil main hp, sambil ngobrol. Di sisi lain, teman tuli saat kajian harus memfokuskan pandangan pada satu titik, yakni penerjemahnya, kalau mereka lengah sedikit saja, bisa berkurang ilmu yang mereka dapat.
Yaa Rabb. Sedangkan pahala/balasan itu berbanding lurus dengan amal. Bagaimana bisa orang yang menoleh ke sana kemari, ngobrol dengan kanan kirinya tanpa uzur di tengah kajian, disamakan dengan orang yang fokus menyimak kajian di satu titik_disertai kekhawatiran kalau hilang fokus sebentar saja, bisa membuat mereka gagal paham?
Ketiga, saya pernah menyimak salah satu kajian teman tuli yang juga dibawakan oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah. Beliau menyampaikan:
"Teman tuli sudah terbebas dari satu hisab di hari kiamat kelak, yakni hisab pendengaran.. sedangkan teman dengar, belum.."
Di serial kajian teman tuli tersebut, beliau hafizhahullah juga banyak sekali menjelaskan fawaaid yang menumbuhkan harapan, di antaranya ialah:
"Hidup itu jangan banyakin beban. Perbanyak harapan. Harapan bisa melihat Wajah Allah."
Demikian faidah itu terkumpul kembali dalam ingatan saya, selama dan setelah sesi tanya jawab kajian Tadzkiratussaami' Sabtu kemarin.
Semoga Allah karuniakan kita kesadaran untuk bersyukur.
Salah satu nasihat paling berkesan dari kajian kemarin:
"Kita tidak diukur dari penggaris orang lain, tapi kita dinilai sesuai yang Allah kasih untuk kita."
Ketika menjawab pertanyaan, Ustadz kemudian membacakan ayat ke 84 surah al-Isra.
".. Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing."
Dsampaikan pula tentang betapa pentingnya menjadi ahli tauhid_bukan untuk keren-kerenan, bukan untuk sok suci_, tapi tauhid adalah satu-satunya kunci kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat.
"Pentingnya tauhid,
hidup jadi nyaman.
Kita gak harus jadi orang lain,
kita cukup jadi hamba.."
Dengan demikian, kita bukan hanya akan mampu bersabar, tapi juga bersyukur.
Catatan penting:
Postingan ini sama sekali belum mewakili sepenuhnya isi kajian.
Untuk pemahaman yang lebih utuh dan mendalam tentang isi, pertanyaan, dan jawaban dari kajian kitab Tadzkiratussaami Wal Mutakallim yang telah dibahas, saksikan video resminya pada link berikut:
https://www.youtube.com/live/Lxzb-bGzCVI?si=iPqKCQtvB7pumg_G